Sabtu, 24 Mei 2008

Sumber-sumber Pendapatan Baitul Mal

Tak bisa dipungkiri, umat Islam tengah menghadapi beragam problematika sosial dan ekonomi. Sekedar contoh, tingginya tingkat kriminalitas, pornografi/pornoaksi dan narkoba. Sementara secara ekonomi, tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi. Indonesia merupakan contoh ideal negara muslim yang memiliki seluruh problematika sosial dan ekonomi.
Sebabnya jelas, umat Islam tidak memiliki kekuasaan independen untuk mengatur masalah sosial dan ekonomi sesuai dengan tuntunan syariat. Di sisi lain, umat Islam tersekat dalam kotak-kotak nasionalisme sehingga masing-masing hanya sibuk memikirkan bangsanya sendiri. Umat Islam di kawasan Timur Tengah menikmati kemakmuran tinggi, tapi ada umat Islam di Afrika yang terlilit kemiskinan akut. Ketimpangan yang menegaskan sejatinya problematika umat Islam lahir dari diri mereka sendiri.


MERINDUKAN BAITUL MAL
Realitas seperti ini menguatkan kerinduan kita untuk hadirnya Baitul Mal di tengah umat Islam sebagaimana dahulu leluhur kita memilikinya. Wajar, sebab konsep Baitul Mal pernah menorehkan prestasi gemilang: Pemerataan tercapai hingga penduduk Afrika – yang dikenal sebagai wilayah miskin – menolak menerima zakat.
Tentu saja Baitul Mal untuk mencapai prestasi demikian gemilang tak bisa melenggang sendirian tanpa ditopang oleh sistem politik yang kuat dan sesuai syariat. Sistem politik yang didesain dalam satu kerangka dengan sistem Baitul Mal, yaitu kerangka kemaslahatan umat Islam, bukan kemaslahatan dengan paradigma bangsa atau rakyat. Sistem politik dan ekonomi yang dilandasi maqashidus+ syariah (paradigma syariat), bukan paradigma nasionalisme.
Tapi tak ada salahnya kita mengupas tema Baitul Mal meski masih bernuansa nostalgia. Tujuannya, agar kerinduan kita makin membuncah dan memiliki gambaran lebih utuh tentang apa yang kita rindukan. Upaya ini untuk menepis kecintaan umat Islam terhadap segala yang berlabel syariat tapi tidak dibarengi dengan pengetahuan yang utuh. Kecintaannya baik, tapi tanpa memahami hakekatnya boleh jadi akan membenci saat tahu hakeketnya.
Baitul Mal adalah lembaga yang mengelola pendapatan dan pengeluaran negara (Islam) sesuai dengan kemaslahatan Islam dan umat Islam. Negara dalam Islam berfungsi untuk hirasatud din (memelihara Islam) dan siyasatud dunya bihi (mengelola urusan dunia dengan Islam), sebagaimana ditegaskan Imam Mawardi dalam al-ahkam as-sulthaniyah. Oleh karenanya, ekonomi sebagai salah satu pilar kekuasaan harus memainkan fungsi tersebut. Ekonomi harus digunakan untuk memelihara Islam dan umat Islam. Tujuan memelihara kemaslahatan (kepentingan) umat Islam tak bisa diabaikan sebab keselamatan Islam terkait dengan kekuatan umat Islam.
SUMBER PENDAPATAN BAITUL MAL
Sumber-sumber pendapatan Baitul Mal bisa berasal dari internal umat Islam, bisa juga dari non muslim baik yang berstatus dzimmi (suaka) maupun harbi (non suaka). Berikut ini penjelasan sumber-sumber tersebut yang kebijakannya diatur oleh negara sehingga bisa disebut sebagai pendapatan tetap:
Zakat
Zakat merupakan sumber utama pendapatan Baitul Mal. Zakat berlaku abadi karena kewajibannya berasal dari Allah. Bagi muslim yang telah memenuhi syarat untuk zakat, ia wajib mengeluarkannya meski tidak ada lembaga yang memainkan fungsi Baitul Mal atau bahkan sekedar amil sakat sekalipun.
Zakat dipandang sebagai mukjizat Islam dalam bidang ekonomi. Zakat memenuhi syarat sebagai pranata keadilan karena hanya dibebankan kepada orang kaya, sedangkan orang miskin justru menikmatinya. Kendati demikian, zakat tidak bisa dijadikan tumpuan tunggal segala problematika ekonomi dalam Islam. Dalam hal distribusi misalnya, zakat dibatasi oleh pos-pos yang tak bisa diganti dengan kategori lain.
Kharaj
Kharaj adalah bagian yang diambil oleh Baitul Mal (negara Islam) dari hasil lahan yang digarap oleh non muslim setelah ditaklukkan. Kharaj merupakan kewajiban penduduk non muslim kepada negara Islam sebagai perimbangan zakat pertanian yang menjadi kewajiban penduduk muslim. Kebijakan tentang kharaj lahir dengan motif agar lahan pertanian tidak habis dibagi sebagai hak milik pasukan yang menaklukkannya. Hal ini disimpulkan dari jawaban Umar bin Khattab saat diminta untuk membagi lahan Khaibar kepada pasukan penakluk. “Anda ingin agar kelak datang generasi yang tidak kebagian lahan sedikitpun”, katanya.
Jizyah
Jizyah adalah kewajiban penduduk non muslim di negara Islam sebagai imbalan keamanan dan perlindungan yang diberikan negara. Kewajiban ini juga merupakan perimbangan zakat yang menjadi kewajiban penduduk muslim. Bedanya dengan kharaj, jizyah tak dikaitkan dengan lahan. Profesi apapun terkena kewajiban membayar jizyah.
Jizyah bukan pajak kepala, terbukti tidak dibebankan kepada orang miskin, buta, tua renta, wanita dan anak-anak. Selain itu, besarannya juga tidak sama bagi setiap orang. Umar bin Khattab menetapkan jizyah kepada penduduk Iraq berkisar antara 12 hingga 48 dirham tergantung kemampuan.
Usyur
Usyur sesuai artinya – 10% – adalah cukai 10% yang diambil negara Islam dari pedagang non muslim yang masuk wilayah Islam. Penetapannya dilandasi motif muamalah bil mitsl (kesetaraan perlakuan). Abu Musa al-Asy’ari menulis surat kepada Umar bin Khattab: “Pedagang-pedagang muslim sebelum kita saat memasuki wilayah non muslim (ardhal harb) dikenakan cukai 10%”. Umar lalu membalas suratnya: “Ambil cukai dari pedagang non muslim sebagaimana mereka mengambilnya (10%) dari pedagang muslim. Untuk kaum dzimmi, ambil cukai 5%. Sedangkan untuk muslim ambil 2,5% jika komoditasnya sudah senilai 200 dirham. Jika komoditasnya di bawah 200 dirham, jangan ambil cukainya. Jika mencapai 200 dirham, ambil cukainya 5 dirham, demikian seterusnya”.
Cukai 2,5% yang dikenakan kepada pedagang muslim merupakan istilah lain bagi zakat perdagangan. Sementara besaran 10% bagi istilah usyur ini tidak bersifat kaku, tapi bisa menyesuaikan kondisi. Umar pernah menetapkan 5% karena alasan tertentu. Untuk zaman sekarang, cukai ini dikenakan saat produk dari luar masuk baik melalui pelabuhan maupun bandara.
Pertambangan, harta karun dan hasil laut
Jika yang melakukan eksplorasi adalah swasta, maka dikenakan 20% dari produksi. Tapi jika pemerintah (Islam) yang melakukannya, keuntungannya sepenuhnya digunakan untuk mendukung fungsi negara. Kalau tidak, minimal 20% dialokasikan untuk kepentingan sosial.
Idealnya harta jenis ini dieksplorasi oleh negara karena berada di tempat yang tidak terkait langsung dengan kepemilikan individu. Sebagai contoh, minyak bumi. Ia berada jauh di perut bumi sehingga tak bisa dikaitkan dengan pemilik lahan di atasnya. Demikian juga hasil laut.
Taudhif
Taudhif adalah kewajiban yang dibebankan oleh negara (Islam) kepada umat Islam yang memiliki kelebihan harta di luar kewajiban zakat. Kewajibannya bersifat tetap, dan besarannya disesuaikan dengan kebutuhan dalam rangka memainkan fungsi hirasatud din dan siyasatud dunya bihi. Jika negara membutuhkan anggaran tambahan – misalnya untuk jihad – tapi dana yang bersumber dari zakat dan lain-lain belum cukup, maka negara boleh menetapkan kewajiban tambahan kepada rakyat di luar kewajiban zakat mereka.
SUMBER PENDAPATAN TIDAK TETAP
Selain sumber pendapatan yang diatur negara tersebut, Baitul Mal berpotensi menerima pendapatan dari sumber-sumber tidak tetap misalnya wakaf, hibah, kafarat dan sumber-sumber insidentil lain. Dengan demikian, Baitul Mal bisa memainkan peran strategis dalam mengemban misi menjaga Islam dan menjamin kepentingan umat Islam.
Jika di zaman keemasan Islam terdapat kemiskinan di tengah umat padahal Baitul Mal eksis memainkan perannya, bagaimana dengan kondisi sekarang saat umat tidak memilikinya. Maka yang terjadi, sumber-sumber kekayaan umat Islam dihisap oleh kekuatan kapitalis global. Mereka memiliki PBB, IMF, Bank Dunia, Federal Reserve dan lain-lain yang dengan rakus menghisap darah ekonomi umat Islam.
Kita perlu segera sadar, bahwa ekonomi merupakan alat utama yang digunakan orang-orang kafir untuk mengalahkan umat Islam. Sebaliknya, ekonomi juga bisa menjadi pilar utama kekuatan umat Islam dalam mengalahkan kaum kafir. Tapi sayangnya, kita bahkan belum beranjak dari problem kelaparan dan pengangguran. Entah kapan kita bisa menjadikan ekonomi sebagai senjata.
Oleh : Ust. Lukman H. Syuhada, Lc (Dosen STEI TAZKIA - BOGOR)

Tidak ada komentar: